Sabtu, 07 Agustus 2010

Budaya Ternate Menjadi Mimpi Menakutkan

Kebudayaan , adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta budhayah yaitu bentuk jamak fata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (ber-tani). Menurut R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
Budaya Ternate di masa silam boleh dikatakan kaya akan keberagaman situs budaya dari sistem religi sampai pada sistem peralatan sangat khas di bumi nusantara, tapi akhir-akhir ini penulis merasa khawatir akan nasib budaya lokal sebagai akibat pengaruh budaya luar yang kejam, keadaan seperti ini telah terasa di Kota Ternate. Pengaruh yang merugikan ini antara lain berubahnya kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan tradisi yang berlaku, kurangnya perhatian terhadap kesenian yang telah diturunkan oleh nenek moyang sehingga diambang kepunahan, para pemuda-pemudi tidak lagi mengetahui bahasa daerah ternate karena dianggap merendahkan harga dirinya, peralatan hidup telah berubah dari yang tradisional ke modern seperti memasak menggunakan kompor padahal yang dulunya memakai kayu bakar, pakaian tradisonal sudah banyak mengalami perubahan desain seiring berkembangnya zaman, dan lebih parahnya permainan tradisional sudah tidak terlihat lagi di Kota Ternate.
Penulis mengajak semua pihak melihat realitas budaya Ternate secara objektif dengan berbagai permasalahan yang akan dikemukakan dalam berbagai unsur budaya.
Kebudayaan Ternate kalah bersaing dengan budaya barat, ketika kita menarik kebelakang pengaruh Budaya Ternate begitu besar di bumi nusantara misalnya pada penyebaran agama ISLAM di timur nusantara selain melalui peperangan juga melalui unsur Budaya seperti kesenian. Hilangnya jati diri Ternate dengan Julukukan Kerajaan Islam mulai terasa sekarang sebagai contoh berapa banyak masyarakat yang menunaikan sholat berjamaah di mesjid atau musholah, dalam berpakaian sehari-hari sangat fulgar dengan menunjukan auratnya, dan pembangunan fasilitas umum seperti mesjid raya tidak mencerminkan identitas buldan Ternate, karena Mesjid Raya Kota Ternate seperti Mesjid Raya Kota Batu, Jawa Timur. Sangat Ironis.
Budaya Ternate tinggal nama, karena penerusnya tidak menghargai akan keberadaannya. Misalnya bahasa Ternate pada saat itu dapat mempengaruhi kosakata dari daerah pengaruhnya. “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austronesia dan Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu – Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda – beda. Tetapi pada kenyataan sekarang masyarakat malu menggunakan bahasa Ternate dalam kehidupan bermasyarakat karena dianggap sangat ketinggalan zaman (kampong-kampong).
Kebiasaan masyarakat yang dulunya bergotong-royong (bari dalam bahasa ternate) ketika ada warga yang membangun rumah maka masyarakat yang lainnya akan menolong. Kebiasaan yang sangat bagus ini, kini sudah jarang terlihat dan ditinggalkan sehingga masyarakat yang dulunya saling membantu sekarang menjadi individualis dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Budaya Ternate juga ada namanya Dola Bololo atau sepotong ungkapan, suatu pernyataan perasaan dan pendapat seseorang dalam bentuk sindiran dan tamsilan. Merupakan ciri kebijakan seseorang dalam masyarakat untuk menyampaikan perasaan dan pendapatnya melalui peribahasa kepada seseorang atau temannya agar kawannya dapat memahami dan menanggapi maksud serta tidak merasa tersinggung karena ketentuan budayanya. Berkomunikasi berbahasa menggunakan Dola Bololo lebih berkesan mudah dihayati, dipahami maksud dan pendapat. Bahkan, berdasarkan cerita, pada masa tahun 1940-an hingga 1960-an, Dolabololo juga sering dilisankan para pemuda dan pemudi dalam saling menjajaki untuk mengikat tali perkawinan. Tetapi sekarang tidak terdengar lagi padahal dolabololo sebagai ciri berpikir positif dalam budaya ternate.
Dolalobolo berikut ini merekam bagaimana masyarakat Ternate mengkonstruksi kebersamaan sebagai cara yang indah untuk mencapai kemajuan.
"Ino fomakati nyinga
Doka gosora se bualawa
Om doro yo mamote
Fomagogoru fomadudara"

Permainan tradisional yang segala sesuatunya bersifat alamiah, dimana tidak ada setting yang dipersiapkan, anak menjadi lebih banyak mendapat kesempatan mengeksplorasi berbagai media yang tersedia alami sebagai dasar berpikir kreatif. Beberapa permainan tradisional yang terdapat di Ternate antara lain dodorobe dan gole-gole. Permainan ini sudah jarang dimainkan oleh anak-anak saat ini, permainan yang sehari-hari dimainkan adalah PS dan game online.
Permasalahan budaya yang sangat kompleks kini telah terjadi di Kota Ternate dari gagasan, aktivitas maupun artefak. Saya mengajak kepada semua komponen yang ada di Ternate untuk bersama-sama meresahkan budaya Ternate yang kini hampir musnah di telan gunung Gamalama, dengan meresahkan maka muncul rasa memiliki.
Agar suatu kebudayaan dapat lestari, yaitu selalu ada eksistensinya (tidak perlu selalu berarti bentuk-bentuk pernyataannya), maka upaya-upaya yang perlu dijamin kelangsungannya meliputi: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.
Dari sandaran diatas maka penulis mencoba memberikan solusi berupa upaya-upaya yang harus dilakukan oleh pihak terkait yang berada di buldan Ternate. Perlindungan, meliputi menjaga keaslian budaya dengan cara memdokumentasikan secara legal berupa Buku, membentuk kelurahan percontohan adat se atorang di Kota Ternate; pengembangan, meliputi mengadakan lomba pentas seni dari tingkat SD – PT tiap 3 bulan sekali, mengaktifkan kembali sanggar-sanggar setiap keluruhan, membuka ruang public untuk kelompok pecinta budaya.; pemanfaatan, untuk dijadikan objek daya tarik wisata budaya Ternate. Dengan harapan budaya Ternate bukan lagi menjadi mimpi menakutkan tetapi menjadi pegangan hidup masyarakat Ternate “Adat Ma toto Agama, Agama Ma toto Kitabullah”.

3 komentar:

  1. Realitas yang Terjadi Seperti di Atas.

    BalasHapus
  2. kebudayaan ternate harus tetap torang jaga

    BalasHapus
  3. Marimoi Ngone futuru.,
    Ino fo makati nyinga..!

    BalasHapus